Pembukaan Undang-undang Dasar kita, UUD 1945, mengamanatkan dengan jelas bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Dapat dimaklumi, penyusunan undang-undang dasar itu dilakukan oleh para bapak bangsa kita ketika dalam masa penjajahan konvensional, penjajahan dengan menaklukan bangsa lain. Seiring dengan perkembangan, penjajahan tidak lagi dilakukan dengan cara menaklukan sebuah bangsa, Melainkan, cukup dengan menjadikannya bergantung dalam banyak hal. Bergantung dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya. Tapi yang lebih halus sebenarnya adalah bergantung dalam mendidik generasi masa depan. Yang akan menakhodai ke mana bangsa kita ini dibawa berlayar ke depannya.
Mungkin dengan semangat seperti itu maka Mas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kemudian meluncurkan program Merdeka Belajar. Program yang di perguruan tinggi dikenal sebagai Merdeka Belajar - Kampus Merdeka. Sebagaimana dimuat dalam website Kampus Merdeka, program Merdeka Belajar - Kampus Merdeka adalah program “hak belajar tiga semester di luar program studi” yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian. Belajar tiga semester di luar kampus mencakup belajar 1 semester di luar program studi di dalam kampus dan 2 semester di dalam prodi yang sama di luar kampus. Saya mengalami hal itu 30 tahun lalu, ketika menempuh pendidikan magister luar dahulu, kampus saya mewajibkan saya mengambil kredit di luar departemen dan di luar kampus tempat saya terdaftar.
Selama menempuh MBKM, begitu program Merdeka Belajar - Kampus Merdeka biasa disingkat, selain belajar mahasiswa diharapkan juga berdampak terhadap masyarakat. Maksudnya tentu saja berdampak positif terhadap pembangunan negara dan bangsa. Tidak perlu menunggu sampai tamat dan bekerja baru memikirkan bisa berdampak, semasih mahasiswa harus sudah dimulai. Argumentasinya adalah untuk mengejar bonus demografi, yaitu nilai positif dari komposisi penduduk yang didominasi oleh kaum muda, dalam menyingsong Indonesia Emas pada 2045. Sebuah langkah antisipatif yang patut diacungi jempol. Untuk memungkinkan mahasiswa dapat berdampak maka program MBKM dirancang dalam bentuk 8 kegiatan: (1) pertukaran mahasiswa, (2) magang atau praktik kerja mahasiswa, (3) asistensi mengajar di satuan pendidikan, (4) penelitian atau riset, (5) proyek kemanusiaan, (6) kegiatan wirausaha, (7) studi/proyek independen, dan (8) membangun desa atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik. Tapi kemudian melakukan perubahan proses pembelajaran yang selama ini sangat berfokus di prodi tentu menimbulkan tantangan tersendiri.
Mudah-mudahan, setelah para mahasiswa yang menjalani program MBKM ini, setelah menamatkan pendidikan mereka, dan di antaranya ada yang berkesempatan menjadi pemimpin, bisa menakhodai negara ini ke arah yang lebih merdeka juga. Misalnya merdeka dari mengimpor bahan kebutuhan sehari-hari dengan cara mengarahkan kebijakan pembangunan untuk lebih fokus pada upaya memberikan nilai tambah terhadap sumberdaya yang kita miliki. Mengembangkan aneka buah lokal misalnya, agar tidak terlalu bergantung pada aneka buah impor seperti sekarang ini. Juga mengembangkan ternak lokal, supaya tidak harus mengimpor telur dan daging untuk memenuhi asupan protein yang masih kurang. Yang sekarang sebenarnya bisa kita lakukan, kalau saja tidak ada yang berharap memperoleh nilai tambah untuk diri sendiri, dari kebijakan impor segala macam kebutuhan sehari-hari, yang sebenarnya kita bisa penuhi sendiri.
Juga mudah-musahan nanti, setelah mahasiswa yang sekarang menjalani program MBKM ini berkesempatan menjadi pemimpin di bidang pendidikan dan riset, bisa merancang proses pendidikan yang lebih memandirikan. Memandirikan bukan hanya dalam arti bisa menghasilkan lulusan yang cepat bekerja, melainkan memandirikan dalam proses, yang tidak diatur dengan peraturan sampai pada hal yang sangat kecil. Sekedar contoh saja, nama prodi, gelar lulusan, sampai mata kuliah yang diajarkan saat ini distur melalui peraturan perundang-undangan. Meskipun program MBKM juga bertujuan untuk memerdekakan hal ini, tetapi sampai kini kekangan belum benar-benar dapat dihapuskan. Juga merekalah, setelah menjadi pemimpin nanti, mudah-mudahan bisa memerdekan dari kewajiban membesarkan perusahaan asing, dengan cara membangun jurnal ilmiah bereputasi dan sistem indeks publikasi yang mumpuni di dalam negeri, daripada harus mengeluarkan devisa entah berapa banyak, sekedar untuk menerbitkan artikel di jurnal luar negeri dan mendapat indeks tinggi dari sistem indeks yang dimiliki oleh perusahaan-perusaan besar luar negeri.
Andaikan saja poin yang diperoleh dari publikasi dan indeks tinggi semacam itu dapat dikonversi dengan kegiatan lain, misalnya terlibat langsung dalam pembangunan desa tertinggal, tentu ada pilihan yang lebih memerdekakan. Sebab sebagai manusia, dosen itu mempunyai kemampuan dan passion yang berbeda-beda, ada yang jago menulis ada juga yang lebih senang bekerja di lapangan. Saat inidosen memang sudah diberikan kewenangan melaksanakan pengabdian pada masyarakat. Tapi poin yang diberikan untuk kegiatan semacam itu lebih rendah jauh dari poin yang diberikan terhadap selembar sertifikat publikasi, sertifikat menjadi penyunting jurnal ilmiah internasional, dan hal-hal lain semacamnya. Padahal kalau kita boleh jujur bertanya, sejauh manakah publikasi internasional dan indeks tinggi yang diperoleh seseorang berdampak kepada masyarakat sekitarnya?
No comments:
Post a Comment